Krisis Menyapa, Aku tetap Bahagia


Pandemi selalu membawa cerita, berbagai masalah hadir mengikutinya bak induk bebek yang diikuti barisan anak-anaknya kemanapun ia pergi. Tak hanya untuk elit global, pemerintah, pengusaha dan tenaga kesehatan, juga berdampak pada kebahagian ibu dan anak. Bagaimana tidak, semua perubahan dan regulasi pembatasan, mau tak mau mengembalikan hampir semua aktivitas ke dalam rumah. 

Banyak ibu yang gagap bahkan putus asa, karena beban menjadi berkali lipat, urusan rumah tangga yang tak kunjung selesai, manajemen diri yang masih berantakan, manajemen waktu, ekonomi keluarga yang morat marit akibat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), masih ditambah dengan urusan pendidikan anak. Jika sebelumnya ibu dapat sedikit bernapas lega karena bisa melimpahkan semua tugas pendidikan anak ke lembaga bernama sekolah, maka saat pandemi ini ibu harus memikirkan semuanya mulai dari A-Z di rumah, apa yang harus anak pelajari, apa tugasnya, belum lagi hambatan teknologi yang dihadapi selama masa belajar daring (dalam jaringan), maka lengkap sudah masalah yang ibu hadapi dalam kesehariannya.

Dengan semua tekanan yang datang bertubi-tubi tersebut ibu menjadi stres bahkan depresi, imbasnya tentu saja terjadi pada anak, suami dan orang-orang yang ada di dekatnya. Study yang dilakukan oleh lembaga nirlaba Save Children (2020), menunjukkan selama pandemi ini satu dari 5 orang tua melakukan pengasuhan secara negatif, bentuknya berupa teriakan, kekerasan fisik dan lebih agresif terhadap anak. (Kompas.com)

Tak hanya ibu, pandemi juga berpengaruh besar terhadap anak. Selama pandemi anak-anak mengalami perubahan aktivitas harian yang berdampak pada mental dan perilaku mereka, dalam laporannya Unicef menyebutkan 45% anak mengalami kesulitan konsentrasi, 13% anak menjadi mudah marah dan 6,5% anak mengalami kesulitan untuk tidur. (unicef.org)

Banyak anak kehilangan kesempatan emas untuk belajar karena sekolah ditutup, kehilangan kesempatan bersosialisasi dengan teman sebaya, kesempatan untuk mengeksplorasi alam sekitar berkurang, terkungkung dalam rumah hanya dihadapkan pada dinding dan gadget yang menjadi media mereka membuka dunia. 

Apa sebenarnya akar masalah dari semua tekanan yang dialami ibu dan anak selama masa pandemi ini? Kurang amunisi dan agility. Ibu Profesional sebagai komunitas yang sangat peduli dengan pendidikan ibu dan calon ibu memberikan bekal yang banyak pada semua membernya agar bisa agile menghadapi setiap tantangan yang hadir, tak terkecuali dalam menjaga kebahagiaan ibu dan anak. 

Core value ibu profesional sangat memungkinkan kami para ibu untuk meracik kebahagiaan kami sendiri, sehingga kami bisa menularkan kebahagiaan itu pada orang-orang terdekat kami, khususnya anak. Ibu diberi kesempatan untuk belajar banyak hal, mulai dari manajemen diri dan keluarga, manajemen waktu, manajemen rumah sampai dengan teknologi yang bisa kami manfaatkan walaupun kami hanya dirumah. Mengembangkan potensi yang dimiliki, membuat karya nyata, membagikannya pada lingkungan sekitar sehingga keberadaannya berdampak bagi sesama. Dari rumah untuk dunia, ini merupakan isu yang tengah diangkat oleh Ibu Profesional dalam usianya yang telah mencapai 1 Dekade melalui gerakan Ibu Pembaharu. 

Berbekal core value, ilmu dan semangat menjadi bagian dari Ibu Pembaharu, dengan bahagia saya menyambut tantangan melaksanakan pendidikan dan menjaga kebahagiaan anak selama pandemi ini. Saya sadar betul bahwa hanya akan ada 2 pilihan, terbawa arus kekecewaan dan menyalahkan keadaan atau bangkit dan berjuang mengalahkan tantangan untuk menghasilkan solusi.

Pojok Elenio, adalah solusi yang saya hadirkan untuk menjaga kebahagiaan saya dan anak-anak di masa pandemi ini. Kegiatan berbasis luring (luar jaringan) yang membuat anak lebih nyaman setelah berhari-hari bosan dengan kegiatan daring. Teknologi menjadi senjata saya untuk mencari berbagai referensi baik dari dalam maupun luar negeri. Berbagai kegiatan kami racik agar semua kebutuhan anak-anak dalam pendidikan bisa kami penuhi tanpa meninggalkan kebahagiaan saya sebagai seorang individu, istri, ibu sekaligus manajer rumah tangga. 

Kami sama-sama menguatkan mindset tentang belajar, belajar itu tak harus di sekolah, belajar itu tidak harus duduk di belakang meja dengan setumpuk buku di depannya, belajar itu bisa dimana saja, menggunakan media apa saja, dengan siapa saja. Dengan mindset dan support sistem yang baik, maka tugas saya sebagai manajer pendidikan keluarga terasa lebih ringan, dan saya bahagia. 

Tugas selanjutnya adalah menularkan apa yang saya rasakan pada anak-anak sebagai subjek dalam pendidikan rumah. Yang saya lakukan terlebih dahulu adalah memantapkan komunikasi yang produktif dalam keluarga, setiap hal akan kami diskusikan, apa yang mereka sukai dan tidak sukai, apa yang menarik dan tidak menarik, apa yang membuat mereka bersemangat dan tidak, termasuk tentang subjek apa yang ingin dipelajari anak-anak esok hari. 

Sederhana, tapi efektif. Dari obrolan itu saya mempunyai gambaran mengenai apa saja yang bisa kami lakukan agar kami tetap bahagia walaupun hanya tinggal di rumah. Selanjutnya memberikan kepercayaan pada anak untuk menentukan kapan mereka akan fokus untuk belajar. Apakah proses ini mudah? Tidak! Nyatanya hadir beberapa drama mulai dari berubah pikiran tentang subjek yang akan dipelajari, pertengkaran antara kakak adik, sampai kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan melakukan aktivitas apapun. Tapi semua dijalani dengan fleksibel dan menyenangkan. Untuk kami saat ini, merawat semangat belajar anak, memenuhi keingintahuannya dengan tetap memberikan ruang untuk berekspresi adalah hal yang utama. 

Saya memindahkan kelas ke dapur, kami belajar sains, matematika, bahasa, agama sampai seni sambil mengolah makanan. Kami belajar tentang perubahan zat, indikator asam basa di teras rumah, memanfaatkan barang bekas untuk memahami proses mendengar dan belajar tentang siklus air. Mengajak mengeksplorasi teknologi dengan memanfaatkan aplikasi untuk membuat buku, stiker dan lembar kerja. Menanamkan pendidikan karakter tentang tanggung jawab dan disiplin, empati dan budi pekerti di atas kasur, merangsang perkembangan motorik halus dan kasar dengan belajar menjahit dan menganyam, tak lupa tetap mengerjakan tugas dari sekolah sebagai syarat administratif sebagai siswa sekolah. 

Saat liburan tiba, secara khusus saya membuat perencanaan yang lebih terperinci agar kegiatan bisa di dokumentasikan dengan lebih baik, Berbagai tema kegiatan dihadirkan agar anak-anak dapat lebih kaya dengan aktivitas. Ini hanya sebagian kecil aktivitas yang kami kerjakan selama kegiatan Pojok Elenio berlangsung.
Melihat respon anak-anak terhadap kegiatan ini membuat saya semakin yakin, bahwa kita mempunyai wewenang penuh atas kebahagiaan kita sendiri, binar mata mereka mengisyaratkan bahwa mereka tak kehilangan semangat untuk belajar dan bahagia. Kita bisa saja merasa pandemi ini membuat kita tak berdaya, tapi kita bisa melakukan banyak hal yang bisa membuat kita merasa bahagia. Menyiapkan ilmu dengan tidak pernah berhenti belajar, percaya pada kemampuan diri dan fleksibel menghadapi setiap tantangan bisa meringankan tekanan yang kita hadapi dalam setiap krisis yang datang menyapa. 


Fanny Yulia Puspitasari
Ibu Rumah tangga dengan 3 anak



*Tulisan ini dibuat untuk Sayembara Catatan Perempuan, dalam rangka menyambut Konferensi Ibu Pembaharu, 1 Dekade Ibu Profesional



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Krisis Menyapa, Aku tetap Bahagia"

Post a Comment